by GB | 17 Feb 2022
Sejak Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. dituangkan dalam BAB II, pasal 6 yang berbunyi
Mungkin akan berlebihan jika di dalam undang-undang tadi juga dipasangkan beberapa tambahan mengenai ‘Alasan’ pernikahan. Padahal latar belakang suatu pernikahan cukup memberi dampak pada langgeng-tidaknya bahtera rumahtangga yang segera berlangsung. Alasan sama dengan ‘niat’ yang kita kenal dalam ranah Agama. Maka alasan tidak kalah penting dengan persetujuan orangtua dan mempelai itu sendiri. Menikah sendiri bukanlah sesuatu yang tanpa alasan seperti jatuh cinta. Jatuh cinta boleh saja begitu peliknya hingga tidak lagi dapat dijelaskan dengan kata-kata, tetapi menikah sebagai tindak lanjut rasa cinta itu tentu harus bisa dibeberkan dengan bahasa manusia.
Alasan yang sangat dasar pastilah Cinta. Mengabaikan Cinta sebagai latarbelakang pernikahan sama dengan mengulangi jutaan kegagalan yang pernah terjadi. Alangkah lebih baik jika Cinta mengawali alasan kedua-ketiga-dan seterusnya. Jika cinta dibiarkan tumbuh dengan sendirinya setelah menikah, bukankah itu sama dengan berjudi? hanya saja taruhannya bukanlah uang tapi sebuah keluarga yang utuh.
Selanjutnya-tanpa mengecilkan makna-alasan yang berterima sebagai latarbelakang pernikahan adalah yang bersifat humanis dan berdampak positif, seperti: melanjutkan keturunan, keadilan, kekeluargaan, dan lain sebagainya. Sehingga alasan dan latar belakang nonabstraktif (alasan bisnis) yang berbau diskriminasi (alasan norma) dan oportunis (alasan religi seperti poligami) dapat segera disikapi dengan arif dan bijaksana-toh Cinta masuk dalam urutan pertama.
Alasan juga mengandung unsur egaliter gender. Keduabelah pihak, baik mempelai pria dan wanita harus memiliki alasan yang tepat berkenaan dengan pernikahan mereka. Kesetaraan biasanya terwujud apabila keduanya diberi ruang dan peluang yang cukup untuk mengutarakan pendapat-pendapatnya di depan hukum. Alasan keduabelah pihak dapat lebih bermuatan hukum yang mengikat ketimbang hanya janji-normatif yang kapan saja dapat diperdaya dengan ingkar. Alasan inilah yang wajib diperhitungkan oleh kedua calon mempelai dalam komunikasi-komunikasi awal sebelum menikah. Komunikasi tadi menuntut mereka meletakkan diri pada kaidah-kaidah kemanusiaan berasaskan hukum yang pada akhirnya dapat mereka pertanggungjawabkan di mata pengadilan.
Nilai dan sanksinya juga mengalami dampak nyata. Di banyak kejadian, menikah melibatkan multi pihak terutama keluarga; tetapi bercerai kemudian menjadi hanya urusan kedua suamisitri yang bertikai. Nilai keluarga disini cenderung timbul sebagai pemersatu, selebihnya kesalahan yang mengakibatkan perceraian adalah milik mereka berdua.
Pertanggungjawaban alasan memungkinkan semua pihak turut berpartisipasi di dalam sanksi. Jika dinyana alasan pernikahan adalah karena bisnis keluarga-misalnya, maka keluarga harus turut serta menanggung akibat-akibat yang menyertainya. Sebaliknya jika pernikahan murni beralasan cinta dan keadilan, maka pihak-pihak yang menghendaki perceraian harus siap menanggung konsekuensi ‘keadilan’ yang mereka maksudkan.
Dari sini diharapkan kemanan dan kemapanan rumah tangga dapat terbentuk sempurna. Korban-korban pernikahan seperti cinta, keikhlasan, dan perempuan dapat diminimasi. Hingga calon korban di masa depan oleh adanya perpecahan seperti keluarga, anak, istri, dan suami juga duduk dalam posisi sebanding-sederajat penuh martabat.
Namun demikian, perhatian selanjutnya pada ayat terkahir yang belum kita bicarakan. Ayat terakhir merupakan negasi dari semua ayat didepannya. Artinya, hukum Agama diatas undangundang yang berlaku. Maka keharusan sah berdasarkan agama adalah mutlak sebelum disahkan secara undang-undang yang berlaku. Apakah dengan begitu jika kedua calon mempelai tidak setuju untuk menikah karena pelbagai alasan dan hukum Agama mengatakan ‘harus’ menikah, berarti pernikahan tetap terjadi?........... Ya!
*Artikel ini telah tayang di Majalah Le
Mariage edisi November Tahun 2007 dengan judul ‘Officialy Authorized
Marriage’