Website Wedding Indonesia | Le Mariage Indonesia

James Kalleske Is Pouring New Life into Hatten Wines—Bali’s Most Iconic Label at 31 | Le Mariage Indonesia

James Kalleske Is Pouring New Life into Hatten Wines—Bali’s Most Iconic Label at 31

by NN | 17 Jun 2025

Keberanian menaklukkan batas zona nyaman menjadi langkah awal James Kalleske menulis ulang narasi wine tropis. Terlahir di Barossa Valley, Australia—salah satu wilayah penghasil anggur paling prestisius di dunia— James justru memilih tantangan yang jauh dari pakem: Bali. Sejak tahun 2012, ia bergabung dengan Hatten Wines dan kini memimpin sebagai Head of Winemaker di PT. Hatten Bali Tbk, membawa visi baru pada label lokal yang telah eksis sejak 1994.

 

Dengan membawa warisan keahlian keluarga serta bimbingan nama-nama besar seperti Bob Cartwright hingga Vanya Cullen, James tidak datang untuk sekadar membuat wine. Ia merevolusi pendekatan terhadap terroir Bali utara yang tropis, yang hanya berjarak 40 meter dari laut—tanah yang dulu dianggap tak ideal, kini melahirkan wine berkelas dunia berkat presisi dan semangat eksperimentalnya.

 

Hari ini, di tengah redefinisi kemewahan yang berpijak pada keaslian, keberlanjutan, dan narasi autentik, Hatten wines tampil sebagai simbol gaya hidup baru dari Pulau Dewata. Bersama James, anggur Bali hadir dengan semangat yang lebih muda, lebih segar, namun tetap elegan dan otentik.

 

Dalam salah satu pameran kuliner berskala internasional di Jakarta, kami menemui James, yang terlihat antusias berdialog langsung dengan para pengunjung di booth Hatten Wines. Dengan segelas Prosecco di tangan, percakapan mengalir hangat. Mulai dari budaya minum wine di Indonesia, eksperimen di balik vinifikasi tropis, hingga segmen pernikahan yang kian berkembang sebagai salah satu pangsa pasar penting bagi wine lokal.





James Kalleske - Head of Winemaker


 

Anda selalu terlibat langsung di acara seperti ini?

 

James Kalleske: Ya, tentu. Saya percaya penting bagi orang-orang untuk bisa bertemu langsung dengan winemaker. Bagi saya pribadi, ini menyenangkan sekaligus sangat berharga. Saya bisa mendengar feedback, membaca reaksi mereka secara langsung, dan memastikan apa yang kami produksi tetap relevan. Itu bagian penting dari menjadi winemaker di era modern.

 

Ya, memasuki usia ke-31, Hatten Wines tak hanya fokus pada distribusi B2B, tapi juga memperluas jangkauan B2C lewat kehadiran rutin di berbagai pameran. Upaya ini tak lepas dari komitmen untuk membangun hubungan langsung dengan pasar domestik dan global yang kian dinamis.

 

Bagaimana Anda menggambarkan budaya minum wine di Indonesia?

 

Kami melihat dua tipe konsumen utama. Pertama, masyarakat lokal yang masih relatif baru mengenal wine. Kedua, wisatawan yang datang dari negara-negara dengan budaya wine yang lebih mapan—seperti Australia dan Eropa. Keduanya tentu memiliki ekspektasi dan pengalaman yang berbeda, jadi pendekatan kami pun harus fleksibel.

 

Bagaimana hal ini memengaruhi strategi bisnis Hatten Wines?

 

Kami menghasilkan sekitar 38 jenis wine untuk menjawab kebutuhan beragam selera tersebut. Ada yang manis untuk pemula, hingga dry, light-bodied, full-bodied, dan sparkling wine. Portofolio kami luas, karena ingin semua orang, dari pemula hingga penikmat serius menemukan sesuatu yang cocok.

 

Baru-baru ini Anda memperkenalkan sparkling wine dengan teknik baru. Bagaimana respons pasarnya?

 

Sangat positif. Penjualannya hampir dua kali lipat dari ekspektasi awal kami. Tentu ini tantangan dalam hal stok, tapi sangat menyenangkan. Sparkling wine seperti Prosecco adalah yang paling populer secara global, dan kami berhasil bersaing baik dari sisi kualitas maupun harga, baik di Jakarta maupun Bali.

 

Tak sekadar bicara potensi, Hatten Wines juga mengantongi rekognisi internasional. Hampir semua varietas dalam portofolionya telah meraih penghargaan di ajang bergengsi. Salah satunya Chenin Blanc. Yang bersaing di level global, dan sukses membawa pulang dua penghargaan, termasuk Gold dari Vienna International Wine Challenge dan Hong Kong Wine Show. 





Hatten Wines


 

Filosofi atau nilai apa yang dibawa dari para mentor Anda ke Hatten Wines?

 

Salah satu yang paling membekas dari Virginia Wilcox: “A winery is only as good as its worst wine.” Artinya, bukan hanya wine premium yang harus diperlakukan serius, tapi seluruh rangkaian produk. Semua harus dibuat dengan rasa hormat dan perhatian. Filosofi ini sangat membentuk pendekatan saya dalam membuat wine yang konsisten.

 

Anda juga terlibat dalam pengembangan produk baru. Apa proyek yang paling mencerminkan semangat eksperimental Anda?

 

Saya sangat tertarik pada Arak Bali. Ini minuman lokal dengan nilai budaya yang dalam. Kami sedang mengembangkan empat varian baru dari Arak Dewi Sri—disuling dua kali dalam tong kayu, dengan kualitas yang bisa dibanggakan. Saya percaya suatu hari nanti, arak bisa tampil di panggung global sebagai representasi budaya dan craftmanship lokal.

 

Bagaimana Anda melihat peluang untuk mengenalkan wine Indonesia ke dunia?

 

Pasarnya berubah. Orang sekarang lebih sadar kesehatan dan cenderung memilih wine dengan kadar alkohol lebih rendah. Tapi justru itu keunggulan wine tropis kami—lebih ringan, lebih segar, dan punya cerita unik. Anak muda sekarang tidak hanya mencari label besar, tapi juga cerita dan karakter. Dan Indonesia, lewat Hatten, punya itu.

 

Awalnya, apa yang membuat Anda menerima tawaran dari Hatten?

 

Saya menyelesaikan studi sarjana di bidang winemaking dan viticulture di Margaret River dan sempat ditawari melanjutkan program phD. Tapi saat bersamaan, Hatten mengundang saya bergabung. Saya memilih jalan yang lebih praktikal. Tantangan menanam anggur di iklim tropis terasa jauh lebih menarik daripada riset akademik. 

 

Bagaimana pendekatan Anda berkembang setelah bekerja di iklim tropis?

 

Kami memang harus banyak beradaptasi. Misalnya, memangkas jumlah panen dari tiga kali setahun, menjadi satu kali saja untuk menjaga kualitas. Kami juga mengubah sistem tanam dari pergola ke vertical shoot positioning, memberi kami kontrol lebih baik atas buah dan proses vinifikasi.

 

Apakah latar belakang Anda di Barossa Valley memengaruhi cara kerja Anda di Bali?

 

Sangat. Saya lahir dan besar di Barossa, dan keluarga saya masih banyak di sana. Melalui brand Two Islands, kami juga membawa sedikit Barossa ke Bali—seperti Syrah yang kami produksi dari anggur Barossa Valey, lalu difermentasi dan diproses di sini.

 

Wine sering dikaitkan dengan selebrasi. Apakah pasar pernikahan juga menjadi fokus Hatten Wines?

 

Tentu. Bali adalah destinasi wisata, tapi juga destination wedding. Banyak pasangan memilih menikah di sini, dan wine lokal kami menjadi bagian dari pengalaman tersebut. Setiap hari, calon pengantin datang ke The Cellardoor kami di Sanur dan bisa mencicipi 38 varian anggur kami untuk menemukan yang paling cocok.

 

Rekomendasi Anda untuk wedding wine?

 

Sparkling wine selalu menjadi favorit. Kami punya enam varian, dari yang dibuat dengan metode tradisional seperti champenoise, hingga yang lebih ringan seperti Tunjung Brut, yang fruity, dan cocok untuk iklim tropis. Selalu ada pilihan yang sesuai untuk setiap selera dan suasana.

 

Dalam 31 tahun perjalanannya, Hatten Wines telah tumbuh dari pionir menjadi pelopor yang terus relevan. Dipandu visi James Kalleske, wine lokal Bali bukan hanya bertahan, tapi berevolusi—menjawab selera, merayakan budaya, dan hadir dalam momen-momen paling bermakna.


Dari kebun anggur tropis hingga pernikahan elegan, Hatten membuktikan bahwa masa depan wine Indonesia bukan hanya janji, melainkan proses yang terus bergerak. Kisah ini masih jauh dari selesai. Justru, setiap botol yang dituangkan menandai awal dari babak berikutnya.